Fenomena tingginya batu bara yang terjadi sejak awal 2021 cukup mencengangkan hingga membuat keadaan tersebut diprediksi seperti boom commodity di tahun 2008 silam, yang dapat membuat pendapatan negara semakin lebih baik.
Kendati demikian, Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani menjelaskan, secara umum fenomena sekarang hampir mirip ketika krisis finansial 2008. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan jika melihat lebih jauh mengenai kenaikan harga komoditas.
Pertama adalah posisi permintaan dan penawaran. Ia menilai, terdapat beberapa komoditas mengalami peningkatan permintaan, seperti batu bara dan nikel. Meskipun begitu, ada juga yang produksinya terganggu seperti crude palm oil (CPO) akibat kondisi di Malaysia dan Australia.
Sedangkan yang kedua adalah faktor stimulus negara maju. Apabila dibandingkan dengan 2008, stimulus Amerika Serikat (AS) sekarang lebih besar tiga kali lipat. Ini mendorong banjirnya likuiditas dan mengalir ke komoditas.
“Tapi kalau disimpulkan super boom commodity ya saya kira tidak, ini karena likuiditas dolar banyak,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dendi menuturkan, keadaan China juga berbeda dibandingkan 13 tahun lalu. Ekonomi China lagi tumbuh tinggi-tingginya dan membutuhkan banyak sekali komoditas. Namun sekarang peningkatan permintaannya tidak lagi besar.
“Secara real demand sebetulnya nggak terlalu besar untuk angkat harga semakin tinggi batu bara di atas 100 ya,” ungkapnya.
Melalui riset yang dilakukannya, Dendi memprediksi kenaikan harga komoditas hanya akan berlangsung hingga 2022. Selanjutnya dunia akan memasuki periode normalisasi, sehingga harga komoditas juga terpengaruh.
“Mungkin harga akan terus naik sampai 2022. Kemudian mungkin turun lebih rendah karena ada normalisasi,” pungkas Dendi.
#coal #batubara #migas #renewable #energy #gas #oil #indonesia
source:
https://sudutenergi.com/harga-batu-bara-tinggi-di-2021-bikin-pendapatan-ri-lancar/