Skip to main content

Jakarta – Harga kontrak futures (berjangka) batu bara termal ICE Newcastle lagi-lagi drop. Pada perdagangan kemarin, harga kontrak yang aktif diperjualbelikan ini anjlok 2,55% ke US$ 82/ton.

Koreksi tajam tersebut membuat harga batu bara berada di level terendahnya dalam kurun waktu tiga minggu terakhir. Harga si batu legam sempat menyentuh level tertinggi hampir dalam dua tahun di US$ 91/ton pada 28 Januari lalu.

Namun setelah itu harga konsisten mengalami tren penurunan (downtrend). Apabila ditarik dari level tertingginya, harga kontrak batu bara Australia ini telah drop hampir 10% (tepatnya 9,89%).

Penurunan harga batu bara Newcastle mengekor anjloknya harga batu bara termal domestik China Qinhuangdao. Akhir pekan lalu harga batu bara acuan China ini anjlok 14%. Untuk satu ton batu bara termal lokal China ini dipatok di RMB 768/ton.

Kendati anjlok, harga batu bara acuan China masih jauh lebih tinggi dibanding harga yang ditargetkan oleh pemerintah. Di China ada yang namanya zona hijau. Pemerintah menarget harga batu bara domestiknya terutama untuk yang berjenis termal di kisaran RMB 500 – 570 per ton.

Itu artinya ada selisih sekitar hampir RMB 200/ton atau hampir setara dengan US$ 31/dolar dari batas wajar tertinggi harga komoditas energi primer ini. Selisih (spread) harga batu bara Australia dan China pun menyempit. Namun tetap saja selisihnya masih di atas rata sejak hampir 10 tahun terakhir.

Harga batu bara mengalami apresiasi seiring dengan prospek perekonomian di tahun 2021 yang membaik terutama di China. Kenaikan permintaan batu bara China tidak bisa dipenuhi dengan pasokan domestik karena memang tidak mencukupi.

Cuaca ekstrem dan kebutuhan lisrik yang meningkat membuat permintaan impor batu bara Negeri Panda mengalami kenaikan. Melansir Reuters, impor batu bara China di bulan Januari 2021 diperkirakan tembus 20,75 juta ton atau naik dari bulan Desember dan November tahun lalu yang masing-masing hanya 18,74 juta ton dan 10,21 juta ton.

Terpilihnya Joe Biden sebagai presiden ke-46 AS juga membawa sentimen buruk untuk sektor energi fosil, tak terkecuali batu bara. Berbeda dengan Trump, politisi partai Demokrat itu lebih pro terhadap energi yang bersih.

Fokus Biden untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim tercermin dalam tindakannya yang kembali bergabung dengan Perjanjian Paris serta berupaya untuk menghentikan kontrak minyak baru dan menghapus subsidi bahan bakar fosil.

AS dan Eropa memang serius untuk beralih ke bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan. Kendati langkah serupa juga terus diupayakan oleh China, India dan Jepang pasar batu bara di kawasan Asia Pasifik masih bergairah.

Geliat ekonomi China sebagai konsumen batu bara terbesar di dunia membuat permintaan terhadap komoditas energi fosil ini meningkat dan membuat harganya terbang. Prospek batu bara di tahun ini dinilai lebih positif dari tahun 2020.

Pandemi Covid-19 memang masih terus merebak. Banyak pihak yang skeptis vaksinasi akan berhasil mengingat uji klinis yang belum selesai, pasokan yang terbatas dan masalah distribusi yang kompleks.

Namun sentimen commodity supercycle cukup membuat harga komoditas pertanian dan pertambangan terdongkrak termasuk batu bara. Apabila berkaca pada tren historis, harga batu bara masih berpeluang melesat ke US$ 100/ton seperti yang terjadi pada 2009 dan 2016 silam.

 

#coal #batubara #migas #renewable #energy #gas #indonesia

source:
https://www.cnbcindonesia.com/market/20210203073856-17-220617/ada-apa-nih-volatilitas-batu-bara-tinggi-kok-tinggi

Leave a Reply